17-19 Mei
Benar-benar cobaan di penghujung semester kalau di saat semua
matakuliah semester tua ini selesai baik UAS maupun tugas akhirnya, tapi
tiba-tiba ada pengumuman kalau ada tugas yang belum terselesaikan. Dan di
Ornithologi inilah hal tersebut terjadi. Di saat beberapa dari kami telah
berada di tanah kelahiran bersama keluarga, terpaksa kembali ke Malang buat
mengerjakannya dan mengumpulkannya. Emang apa sih tugasnya?
Yah sebenarnya ini merupakan tugas akhir, setelah UAS, yaitu
membuat awetan kering kerangka burung secara kolektif sekelas. Tapi gara-gara
kerjaan kolektif hancur dalam masa awal pembuatannya, yaitu saat perendaman air
kapur, jadilah kami menanggung resiko secara individu: bikin poster kkl birding
Wonorejo atau awetan kerangka burung.
Karena ada beberapa dari kami tidak menguasai photoshop untuk
bikin poster, dan karena deadline yang memburu
maka aku dkk (Warda, Ratna, Dian, Reny)
memilih membuat awetan kerangka yang punya deadline lumayan jauh. Heem..
lumayan,, melatih ketrampilan. Hehehe…
Ayo ikuti kami dalam membuat awetan kerangka dengan alat
bahan seadanya.., Yuuuuk:
Langkah
pertama, kita harus membunuh
burung yang masih hidup dan kemudian mengulitinya (langkah kedua).
Syukur-syukur kalau udah dapat burung yang mati: memudahkan pekerjaan dan
menghindari dosa. Jujur, pada percobaan pertama aku kebagian ngontrol
perendaman burung yang telah dikuliti ke dalam gamping/air kapur (langkah
ketiga), eh ternyata karena ketiduran kebanyakan dari kelima burung yang
direndam pada lepas-lepas bagian-bagian tulangnya, kecuali kerangka burung
merpatinya Warda. Jadilah aku ganti burung mereka. Yang dua beli (kutilang-Picnonotus
aurigaster) dan dua lainnya dikasih bangkainya (burung kacamata dan cucak
keling). Balik ke proses penghilangan nyawa, kami melakukannya dengan penyembelihan
karena tidak punya klorofom. Bagian ini harus dilakukan oleh orang yang
bernyali. Naah, orang ini adalah Dian Puspita
Dewi. Dengan penuh percaya diri, setiap
penyembelihan dilakukannya dengan mantap. Proses ini harus dilakukan dengan
hati-hati, jangan sampai kebablasan sampai mengenai tulang leher yang beresiko
mematahkannya.
Langkah kedua, menguliti dan menghilangkan dagingnya dengan
pembedahan. Heeem,, lagi-lagi kami menggunakan alat seadanya. Alat bedah kami
sederhana. Skapel diganti dengan isi cutter kecil, pinset diganti dengan
penjepit bulu ketiak, dan papan bedah diganti plastik. Proses yang paling
membuat kami jengah adalah harus mengoperasi makhluk sekecil burung-burung ini:
kutilang, kacamata, dan cucak keeling. Lain lagi dengan merpati yang punya
ukuran normal. Kulit, daging, otot, dan mata haruslah dihilangkan hingga
menyisakan tulangnya saja. Yang lupa kami lakukan dalam proses ini adalah
pengambilan otak.. ya Tuhan semoga otaknya kering saat proses selanjutnya agar
tidak merusak kerangka kami kelak kalau membusuk.
Langkah ketiga,
perendaman ke dalam air kapur. Proses ini
bertujuan untuk memudahkan kita membersihkan sisa-sisa jaringan yang masih
melekat pada tulang. Masih ingat dong cara kerja kapur yang dimasukkan ke dalam
air..? CaO+H2O akan menghasilkan Ca(OH)2 dan panas. Panas
inilah yang membantu mengurangi adhesifitas jaringan dengan tulang (bener gak
sih.. kok aku gak yakin yaa…). Jadi sama aja kalau direbus seperti yang
dilakukan Pintar
Tri Wahyuni. Gara-gara gak nemuin kapur maka anak ayamnya
harus masuk panci dan direbus (aigoo…). Setelah perendaman secukupnya (cek
berkala, apakah sisa jaringan bisa dilepas dengan mudah?), maka proses ini
selesai dan dilanjutkan dengaaaan…
Pembersihan sisa-sisa jaringan, yaitu pada antar rusuk, antar tulang leher,
dan daging di pigostil. Penjepit rambut ketiak sangat berperan aktif disini. Hahaha….
Langkah
keempat, pemasangan kerangka di papan kayu.
Berdasarkan pengalaman kami di lab bio 212, kami melihat kerangka burung di
sana dipancangkan di atas papan kayu, maka kami mengaktifkan radar “the lost
treasure” atau bahasa gaulnya LURU. Wkwkwk… papan kami dapatkan dari papan kayu
di belakang gedung bio yang terbuang. Proses ini terjadi di dalam kamar kosku (hiks..).
Betapa paku, palu, tang, kawat tali, korek, benang nylon, dan papan kayu
berserakan baik di kasur maupun di lantai kamarku. Bagian kerangka yang perlu
disangga adalah kaki (agar bisa berdiri) dan leher. Kalau burungnya cukup besar
lebih baik semua bagian dikuatkan dengan kawat tali. Kecuali kalau burungnya
seukuran burung kacamata, cukup lehernya saja.
Langkah
kelima, pelapisan dengan varnish. Sesuai dugaanku
penggunaan varnish ini penting selain untuk memperindah bentuk tapi juga
pengawetan agar terhindar dari perusakan kalsium/pengeroposan tulang oleh semut
atau hewan lainnya.
Dan, akhirnya selesai sudah pembuatan awetan
rangka burungnya… Tinggal pasang nama spesies dan nama pembuat (numpang eksis),
dan huuup….. kerangka-kerangka plontos burung kami siap disetor ke mbak Vita.
Huaaah,, sumpah pegel banget kita, mana mata sudah juling-juling selama
pembersihan jaringan di sela-sela sambungan tulang leher dan ekor. Jadi “carpenter”
sehari dengan segala macam paku, palu, dsb. Akhirnya jadi juga. Sekarang kami
tahu betapa sulitnya membuat awetan kerangka burung. Alhamdulillah, ada
hikmahnya…
Mau lihat hasil kerja amatiran kita…? Nih
check it out….
bismillah.. semoga dengan ini menunjang nilai ornitho kita |
Pembandingnya aja benang, bayangkan aja..! |
Yang melimpah di alam belum berarti murah. Harga hidup Rp 10K |
rangka terbesar dari buatan kami berlima |
kerangka expo.. wkwkwk |
0 comments:
Posting Komentar