Senin, 20 Mei 2013

Membuat Awetan Kering Kerangka Burung


17-19 Mei
 

        Benar-benar cobaan di penghujung semester kalau di saat semua matakuliah semester tua ini selesai baik UAS maupun tugas akhirnya, tapi tiba-tiba ada pengumuman kalau ada tugas yang belum terselesaikan. Dan di Ornithologi inilah hal tersebut terjadi. Di saat beberapa dari kami telah berada di tanah kelahiran bersama keluarga, terpaksa kembali ke Malang buat mengerjakannya dan mengumpulkannya. Emang apa sih tugasnya? 


        Yah sebenarnya ini merupakan tugas akhir, setelah UAS, yaitu membuat awetan kering kerangka burung secara kolektif sekelas. Tapi gara-gara kerjaan kolektif hancur dalam masa awal pembuatannya, yaitu saat perendaman air kapur, jadilah kami menanggung resiko secara individu: bikin poster kkl birding Wonorejo atau awetan kerangka burung.

        Karena ada beberapa dari kami tidak menguasai photoshop untuk bikin poster, dan karena deadline yang  memburu maka aku dkk (Warda, Ratna, Dian, Reny) memilih membuat awetan kerangka yang punya deadline lumayan jauh. Heem.. lumayan,, melatih ketrampilan. Hehehe…

        Ayo ikuti kami dalam membuat awetan kerangka dengan alat bahan seadanya.., Yuuuuk:

Langkah pertama, kita harus membunuh burung yang masih hidup dan kemudian mengulitinya (langkah kedua). Syukur-syukur kalau udah dapat burung yang mati: memudahkan pekerjaan dan menghindari dosa. Jujur, pada percobaan pertama aku kebagian ngontrol perendaman burung yang telah dikuliti ke dalam gamping/air kapur (langkah ketiga), eh ternyata karena ketiduran kebanyakan dari kelima burung yang direndam pada lepas-lepas bagian-bagian tulangnya, kecuali kerangka burung merpatinya Warda. Jadilah aku ganti burung mereka. Yang dua beli (kutilang-Picnonotus aurigaster) dan dua lainnya dikasih bangkainya (burung kacamata dan cucak keling). Balik ke proses penghilangan nyawa, kami melakukannya dengan penyembelihan karena tidak punya klorofom. Bagian ini harus dilakukan oleh orang yang bernyali. Naah, orang ini adalah Dian Puspita Dewi. Dengan penuh percaya diri, setiap penyembelihan dilakukannya dengan mantap. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai kebablasan sampai mengenai tulang leher yang beresiko mematahkannya.

Langkah kedua, menguliti dan menghilangkan dagingnya dengan pembedahan. Heeem,, lagi-lagi kami menggunakan alat seadanya. Alat bedah kami sederhana. Skapel diganti dengan isi cutter kecil, pinset diganti dengan penjepit bulu ketiak, dan papan bedah diganti plastik. Proses yang paling membuat kami jengah adalah harus mengoperasi makhluk sekecil burung-burung ini: kutilang, kacamata, dan cucak keeling. Lain lagi dengan merpati yang punya ukuran normal. Kulit, daging, otot, dan mata haruslah dihilangkan hingga menyisakan tulangnya saja. Yang lupa kami lakukan dalam proses ini adalah pengambilan otak.. ya Tuhan semoga otaknya kering saat proses selanjutnya agar tidak merusak kerangka kami kelak kalau membusuk.

Langkah ketiga, perendaman ke dalam air kapur. Proses ini bertujuan untuk memudahkan kita membersihkan sisa-sisa jaringan yang masih melekat pada tulang. Masih ingat dong cara kerja kapur yang dimasukkan ke dalam air..? CaO+H2O akan menghasilkan Ca(OH)2 dan panas. Panas inilah yang membantu mengurangi adhesifitas jaringan dengan tulang (bener gak sih.. kok aku gak yakin yaa…). Jadi sama aja kalau direbus seperti yang dilakukan Pintar Tri Wahyuni. Gara-gara gak nemuin kapur maka anak ayamnya harus masuk panci dan direbus (aigoo…). Setelah perendaman secukupnya (cek berkala, apakah sisa jaringan bisa dilepas dengan mudah?), maka proses ini selesai dan dilanjutkan dengaaaan…

Pembersihan sisa-sisa jaringan, yaitu pada antar rusuk, antar tulang leher, dan daging di pigostil. Penjepit rambut ketiak sangat berperan aktif disini. Hahaha….

Langkah keempat, pemasangan kerangka di papan kayu. Berdasarkan pengalaman kami di lab bio 212, kami melihat kerangka burung di sana dipancangkan di atas papan kayu, maka kami mengaktifkan radar “the lost treasure” atau bahasa gaulnya LURU. Wkwkwk… papan kami dapatkan dari papan kayu di belakang gedung bio yang terbuang. Proses ini terjadi di dalam kamar kosku (hiks..). Betapa paku, palu, tang, kawat tali, korek, benang nylon, dan papan kayu berserakan baik di kasur maupun di lantai kamarku. Bagian kerangka yang perlu disangga adalah kaki (agar bisa berdiri) dan leher. Kalau burungnya cukup besar lebih baik semua bagian dikuatkan dengan kawat tali. Kecuali kalau burungnya seukuran burung kacamata, cukup lehernya saja.
Langkah kelima, pelapisan dengan varnish. Sesuai dugaanku penggunaan varnish ini penting selain untuk memperindah bentuk tapi juga pengawetan agar terhindar dari perusakan kalsium/pengeroposan tulang oleh semut atau hewan lainnya.


Dan, akhirnya selesai sudah pembuatan awetan rangka burungnya… Tinggal pasang nama spesies dan nama pembuat (numpang eksis), dan huuup….. kerangka-kerangka plontos burung kami siap disetor ke mbak Vita. Huaaah,, sumpah pegel banget kita, mana mata sudah juling-juling selama pembersihan jaringan di sela-sela sambungan tulang leher dan ekor. Jadi “carpenter” sehari dengan segala macam paku, palu, dsb. Akhirnya jadi juga. Sekarang kami tahu betapa sulitnya membuat awetan kerangka burung. Alhamdulillah, ada hikmahnya…


Mau lihat hasil kerja amatiran kita…? Nih check it out….







 
burungnya bagus lo, bulu hitam kehijauan, bermata merah-misterius


bismillah.. semoga dengan ini menunjang nilai ornitho kita


Pembandingnya aja benang, bayangkan aja..!


Yang melimpah di alam belum berarti murah. Harga hidup Rp 10K


rangka terbesar dari buatan kami berlima


kerangka expo.. wkwkwk

0 comments:

Posting Komentar