Sabtu, 06 April 2013

Hari Kartini 2013- Surat untuk Kartini Masa Depan


Dengan segenap harapan beriring doa, semoga kartini-kartini penyongsong pelangi menjawab keingintahuannya akan dunia, berani bergerak dalam kebenaran meski belenggu tak tampak bernama prasangka-membelenggunya, melukis senyum di raut saudara-saudara di sekitarnya, serta mewujudkan apa yang menjadi mimpinya.


     Bagaimana kabar kalian wahai wanita Indonesia, para penerus Kartini? Masihkah tersampaikan suara Raden Ajeng Kartini yang berasal lebih dari seabad lalu untuk mengajak gender kita bangkit dan dihargai di bumi tempat merah putih berkibar ini? Bahwa, kelemahan sebagai kodrat wanita tidak mampu manghalangi kita untuk berpartisipasi dalam mengubah dunia.

     Sebelumnya, ijinkan saya untuk membuat pengakuan. Saya masih di jalan setapak menuju mimpi saya sehingga saya tidak cukup yakin, apakah benar kekurangmampuan saya ini pantas dalam membuat langkah partisipatif untuk sekelumit wacana pengutara asa kepada kalian wahai saudaraku sebangsa dan setanah air. Namun berangkat dari niat untuk berbagi semangat dan sekadar benang persapaan antar wanita Indonesia (saya bangga ada juga kalimat itu sebagai penghubung kita), saya mampu mengguratkan tinta pemikiran sederhana tanpa bentuk nyata dan masih dalam sebentuk kata-kata.

     Sebaiknya kita tahu apa yang terjadi di masa lalu sebelum melangkah meniti masa depan untuk meminimalisir kesalahan. Sebenarnya apa sih yang ada dalam pemikiran R.A Kartini di masanya sehingga mengambil aksi sebagai perintis dalam membuat hak wanita Indonesia dalam memperoleh pendidikan sejajar dengan kaum pria? Seberapa kuat kepeduliaannya pada nasib wanita Indonesia sehingga dengan upaya mandirinya mampu menggerakkan hati manusia-manusia yang mengenalnya untuk membantu mewujudkan mimpinya? Dan apa tujuannya setelah hak wanita dalam memperoleh pendidikan berhasil?


R.A Kartini

     Ketika saya mencari biografi beliau, melintaslah pertanyaan yang dahulu tidak pernah saya ingin tahu atau hanya berfikir, “wah, R.A Kartini hebat” saat belajar PKN atau sejarah di bangku sekolah. Sejak SMP saya suka membaca karya sastra lama, mengunjungi perpustakaan nasional, dan beberapa kali dijodohkan dengan karya beliau yang paling dikenal yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang”, namun saat itu saya lebih memilih sastra klasik Indonesia dari beberapa periode seperti: periode balai pustaka (Siti Nurbaya karya Marah Roesli-1922, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar-1920, Salah Pilih-1928, Katak Hendak Menjadi Lembu, dan Hulubalang Raja-1934 karya Nur Sultan Iskadar, Sengsara Membawa Nikmat-1928 Lulis Sutan Suti, Salah Asuhan-1928 karya Abdul Muis), periode pujangga baru (Sutan Takdir Alisjahbana: Dian Tak Kunjung Padam-1932, Layar Terkembang-1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun-1940), periode angkatan 45 seperti ATHEIS (yang saya baca meloncat-loncat tanpa selesai, karena ngeri dengan ideologi ATHEISnya), periode ’50-‘60an (Robohnya Surau Kami-1955 karya Ali Akbar Navis), periode ’80-‘90an yang kebanyakan karya N.H Dhini (Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko). Baru- baru ini saya penasaran apa ide yang R.A Kartini bagi pada buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, tiba-tiba saja sangat ingin menggenggam buku itu.

Kembali pada pembahasan semula, pertanyaan pertama mengenai pemikiran R.A Kartini di masanya sehingga mengambil aksi sebagai perintis dalam membuat hak wanita Indonesia dalam memperoleh pendidikan sejajar dengan kaum pria. Salut saya akan gerakan nyata beliau dalam hal ini, karena beliau bangkit disaat yang lain terjajah, beliau bangkit demi orang lain (yaitu bagi kaum hawa Indonesia), dan beliau benar-benar bangkit. Mungkin awalnya beliau merasa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya saat melihat perbedaan hak dalam gender di Indonesia sementara melihat kenyataan wanita Eropa yang diakui pemikirannya dalam banyak bidang ilmu. Melihat para wanita hidup hanya untuk memelihara anak di bawah penguasaan lelaki, memenuhi kebutuhan anak dan suaminya namun dengan hak yang dibuntungi. Di saat para wanita pasrah dengan kondisi yang dibebankan itu, apakah R.A Kartini juga pasrah? TIDAK.

Inilah pemikiran seorang pemimpin sejati, pemikirannya melesat jauh di depan orang rata-rata. Pemikirannya bukan demi kepentingan sendiri, namun demi kemaslahatan umum. Seandainya kedudukan ayah beliau tidak dalam posisi bangsawan yang memiliki sedikit keleluasaan dalam mencerdaskan beliau hingga jenjang ELS (Europese Lagere School), apakah beliau masih akan memperjuangkan hak wanita? Karena kenyataan awal yang beliau sadari mengenai kesalahan penempatan perbedaan gender di Indonesia mungkin di dalam hubungannya dengan kawan sekolahnya yang sebagian besar anak orang Belanda. Seandainya beliau terlahir dari keluarga pribumi yang jelata, kartini kita akankah gadis yang sama dengan kapasitas kemampuan berbeda, atau sekelompok gadis-gadis pribumi jelata yang kritis karena merasakan kejenuhan dibedakan haknya hanya karena gender, ataukah gadis putra bangsawan lain yang terketuk hatinya? Jika memang demikian, kartini bisa siapa saja.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa kuat kepeduliaannya pada nasib wanita Indonesia sehingga dengan upaya mandirinya mampu menggerakkan hati manusia-manusia yang mengenalnya untuk membantu mewujudkan mimpinya? Di tengah masa belajarnya, R.A Kartini yang lahir tanggal 21 April 1879 ini mempelajari banyak hal dari pengetahuan Belanda, termasuk bahasanya. Inilah yang menjadi media beliau untuk berkorespondensi dengan teman-temannya di Belanda setelah beliau berhenti bersekolah untuk dipingit. Dari buku, surat kabar, dan majalah Eropa, beliau mengikuti pola pikir para wanita Eropa dan menemukan bahwa wanita eropa telah ikut andil di negaranya bahkan di dunia, seperti menerbitkan ide mereka melalui buku, melakukan riset, dan mungkin ikut serta dalam kepemerintahan. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesadaran baru bagi beliau akan status sosial wanita Indonesia lebih rendah dibanding laki-laki. Wanita tidak memiliki hak untuk belajar di kala muda, dalm hukum tidak memiliki jaminan keamanan, tidak boleh bebas bersosialisasi karena harus dipingit saat menginjak remaja, saat berumah tangga keberadaannya hanya di rumah, tidak diperkenankan meninggalkan kewajiban di rumah mengurus anak dan suami, bahkan pedihnya lebih sering dianggap perabot pelengkap rumah dibandingkan seorang manusia. Dengan tekad bulat untuk memperjuangkan kebebasan, otonomi dan persamaan hukum, beliau banyak membaca buku-buku Eropa yang semuanya berbahasa Belanda.

Untunglah suami yang dinikahinya, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat memberi kebebasan bahkan dukungan untuk beliau meneruskan cita-cita memajukan perempuan Indonesia dengan mendirikan sebuah sekolah wanita. Lalu muncullah asumsi dari kepalaku, mungkin tekad bulat beliau ada hubungannya dengan keberadaannya sebagai anak perempuan tertua dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri (M.A Ngasiroh, ayah R.A Kartini sebagai wedana di Mayong yang telah beristri ibu beliau ingin menjadi bupati dan memenuhi persyaratan jaman kolonial dengan menikahi bangsawan). Beliau mungkin tidak ingin saudara perempuannya merasakan kesedihan ketidakberdayaan seorang wanita. Karena beliau merasakan sendiri kepahitan terbelenggu dari hak yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Hidup bukan sekedar ada di dunia dan bernafas, namun manusia hidup berhak memilih apa yang diinginkannya tanpa dikekang tradisi yang berdasar atas keegoisan kaum pria. Wanita juga punya hak mengisi kepalanya dengan ilmu, mendapatkan persamaan hukum, merawat dirinya, memilihkan yang terbaik bagi anak-anaknya, tidak didikte seperti masa sebelum Kartini yang dalam segala hal harus melalui suami atau ayahnya.

Gerakan R.A Kartini banyak mendapat bantuan dari teman-temannya. Tenaga pengajar di sekolah wanita yang dibangunnya di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang merupakan teman-teman yang dikumpulkannya untuk mengajari para wanita baca tulis. Bahkan setelah beliau meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904, sekolah tersebut masih berdiri dan semangatnya telah menyentuh banyak orang. Jauh setelah itu, Van De Venter seorang tokoh politik Etis (politik balas budi) 1912 melalui Yayasan Kartini yang dibangunnya di Semarang mendirikan sekolah wanita di Yogyakarta, Malang, Madiun, Surabaya, Cirebon dan daerah lain yang diberi nama “Sekolah Kartini”.


Apa tujuannya setelah emansipasi wanita berhasil? Semuanya dapat kita rasakan hari ini, kita para wanita diberi kebebasan untuk sekolah tinggi, melakukan riset tanpa ada batasan gender. Semua yang didapatkan pria, kita juga memilikinya. Kita memiliki pemikiran yang independen, tidak didikte, boleh berkarir, bahkan mendapatkan kedudukan sama di mata hukum. Kartini punya andil besar dalam kenikmatan hidup yang telah kita rasakan sekarang. Untuk apa? Hak dasar semua manusia untuk memegang penuh kendali akan “hidup”nya. Inilah yang pasti, R.A Kartini berjuang sebenarnya bukan untuk orang lain, namun untuk dirinya sendiri. Beliau menyadari, dia tidak mendapatkan haknya utuh sebagai manusia, inilah tekad yang membawanya untuk berjuang.

Mungkin apa yang saya kemukakan salah, namun yang ingin saya sampaikan sekarang adalah marilah menjadi kritis terhadap lingkungan, seandainya ada penyelewengan atau sesuatu yang tidak pada tempatnya kita harus berani mengambil sikap. Seandainya berhadapan langsung dengan masalah akan menyakiti kita, kita bisa melakukan cara halus yang tidak langsung. Berawal dari tekad, mari wujudkan mimpi-mimpi kita. Kita, di waktu ini punya kebebasan. Hal yang mewah jika dibandingkan sebelum emansipasi diperjuangkan R.A Kartini.

“Mimpi adalah sesuatu yang begitu indah. Kau tak akan mampu menolak dan menghindar darinya kalau kau sudah jatuh ke dalamnya. Ia tak punya batas karena dia adalah imajinasi. Ia tak punya tepi tapi ia memiliki arti. Tak punya suara tapi tak pernah sepi.”


Semoga keberadaan emansipasi wanita tidak menimbulkan lebih banyak keburukan dibandingkan kebaikannya. Amin.

Salam kasih dariku untuk para Kartini masa depan, kaumku yang dulu sempat terbelenggu, kini terbanglah bebas menjalani hidup. Warnai hidupmu dengan warna-warna terbaik, buat orang-orang di sekitarmu merasakan manfaat keberadaan dirimu. Akhirnya, semua bukan lagi tentang gender. Baik pria maupun wanita, semua punya kesempatan yang sama untuk memajukan Indonesia. J Semangat…!

2 comments:

Erna mengatakan...

Tulisan yang menarik. Tapi rasanya perlu juga diingat bahwa status sosial Kartini yang berasal dari keluarga kelas atas priyayi Jawa juga merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi itu memberinya kesempatan untuk mendapat pendidikan (Belanda) yang lebih baik, tapi di sisi lain kebebasan yang dimilikinya mungkin justru lebih sedikit dibandingkan perempuan jelata, baik kebebasan untuk bergerak di luar rumah maupun kebebasan untuk memilih suami.
Apakah perempuan merupakan warga kelas dua? Di lingkungan Kartini saat itu mungkin kondisi itu sangat terasa, tapi tidak otomatis kondisinya sama di seluruh Indonesia. Perempuan dari kampung nelayan di pesisir Jawa atau para bakul pasar mungkin lebih punya kebebasan hidup, kebebasan berkarir (bekerja) dibanding seorang Kartini. Kebebasan mendapat pendidikan? Well, kalau anda laki2 tapi cuma rakyat jelata tetap saja anda sulit untuk bersekolah di jaman Belanda.

Unknown mengatakan...

Wah, fakta br yg aq blm tahu.. Makasih tambahannya, kemungkinan krna kondisi masy kartini yg spt itu, yg tdk lbh bebas dibandingkan putri nelayanlah yg membuat beliau sadar akan pentingnya bertindak.. Tdk pasrah kpd keadaan..

Posting Komentar